Skandal Agraria di Madina
Catatan Pendek tentang Singkuang yang Belum Diketahui Pembaca

Suasana Aksi Massa Singkuang I di Kantor Bupati Mandailing Natal, Rabu (7/6/2023/Ist)
(KABAR TAPSEL) - MANDAILING NATAL, - Tepat sepuluh hari lalu, siang itu, (Jumat/6/2023) saya dan Buyung Umak sedang berbincang-bincang di salah satu ruangan salah satu Wakil Ketua DPRD di Gedung DPRD Mandailing Natal terkait bagaimana penyelesaian persoalan tuntutan Massa Singkuang 1 yang menolak 200 Ha.
Alasan warga jelas, bahwa jika 300 Ha bisa dikeluarkan perusahaan PT. Rendi Permata Raya, maka semakin mudah mencari 200 Ha lagi APL (Areal Penggunaan Lain) di wilayah hutan Muara Batang Gadis, Mandailing Natal.
Lahan 102,15 Ha sudah disiapkan PT. RPR di wilayah Singkuang II, meskipun masih dalam sengketa. Pencarian 200 Ha ditengarai akan cepat didapatkan di wilayah hutan geografi Muara Batang Gadis.
Tetapi, ada beberapa jurnalis, pengamat ekonomi, ketua partai yang tak memahami substansial persoalan puluhan Koperasi di Muara Batang Gadis bermasalah dari sisi manajemen dan pengelolaan UMKM.
Di sebuah Grup Whatsapp Forum Anak Madina ada yang memilih oposisi tanpa pretensi berlebihan. Ada juga yang memaparkan program percepatan pembangunan ekonomi Madina. Ada juga yang memilih membela perjuangan massa Singkuang I.
Ada juga yang berkomentar bahwa apa sebenarnya yang dituntut Massa Singkuang I, padahal sudah diberikan lahan 200 Ha dari lokasi eks Sago (PT. Tri Bahtera Srikandi) yang pernah bersengketa dengan PT. RPR, yang dimenangkan oleh PT. RPR sebanyak 300 lebih.
Lalu muncul sebuah catatan yang terbit di Beritahuta.com yang ditulis oleh Akhiruddin Matondang, wartawan utama yang lama di Lampung. Belakangan, Akhir hijrah ke Madina dan menjadi anggota biasa di PWI Sumut.
Dalam catatan tersebut, ia menuliskan kronologi bagaimana awal-awal perjuangan Massa Singkuang I yang banyak menyedot perhatian publik di Mandailing Natal dan perantau yang berasal dari Mandailing Natal.
Oh ya, persoalan ditanggapi atau tidak, ditanggapi panas atau dingin, biarlah itu menjadi penilaian objektif masyarakat Mandailing Natal maupun Sumatra Utara.
Dan itu tak menjadi persoalan bagi kami, yang penting, bagaimana perjuangan yang kami gelorakan kembali sejak akhir 2019 sampai Juni 2023 ini tetap pada koridor sesuai dengan anggaran dasar Rumah Tangga KP. HSB Singkuang I, bahwa kami sepakat semua keputusan anggota adalah keputusan tertinggi, bahwa kami menolak atas beberapa intimidasi yang dilakukan oknum-oknum yang tak bertanggung jawab agar mau menerima 200 Ha dari lahan izin HGU PT. RPR.
Terkait sikap atau tanggapan anggota grup WA tak mengapa bagi saya. Persoalan sikap anggota grup tentu tidak ada kuasa bagi saya, apalagi saya menginginkan akan dibahas panjang dan komprehensif baik bagaimana menyelesaikan persoalan-persoalan lokus Madina yang telanjur saya cintai ini.
Bahwa di 2048 nanti, akan ada sikap dan pengakuan dari anak-cucu saya, bahwa saya ikut berjuang demi menuntut hak plasma dari perusahaan yang beroperasi di wilayah Singkuang I dengan berbagai macam tantangan tanpa pretensi kelompok mana pun. Dengan prinsip yang digaungkan oleh sikap kawan-kawan saya di KP. HSB Singkuang I.
Mengenai konteks pemberitaan media online yang menurun, biarlah itu jadi kerja profesionalisme jurnalis itu sendiri. Soal menarik atau rating yang menurun, bukankah itu kerja jurnalis bagaimana melihat sebuah fakta yang bisa saja itu tak menarik, tetapi bisa ditulis lebih menarik bila diambil dari sudut pandang yang lain, lebih mendalam misalnya melalui sisi-sisi feature, tokoh, atau hal-hal yang mungkin bisa mendobrak bagaimana pemberitaan itu tidak dangkal, kering, dan habis sekali baca.
Saudara Akhiruddin Matondang tentu tahu berita yang diangkat oleh Sindhunata tentang "Lebaran Ini Nenek Minah Hanya Ingin Makan Khong Guan", isinya tentunya kejujuran Nenek Minah yang dinarasikan oleh Sindhunata dengan begitu emosional, sehingga pembaca Kompas mengirimkan ratusan kaleng roti Khong Guan dalam truk oleh pembaca. Termasuk bantuan kemanusiaan bagi Nenek Minah, (maaf kalau saya keliru dalam menarasikannya).
Pemberitaan soal tuntutan warga Singkuang 1 bisa menarik dari sisi kemanusiaan, ketika kaki dan tangan perempuan dan laki-laki dalam aksi massa Singkuang I terinjak dan dipukul saat aksi di depan PT. RPR oleh aparat pengamanan dari Polres Mandailing Natal. Atau bagaimana cerita beberapa jurnalis telah didesain oleh oknum Pemkab agar tidak menaikkan berita mengenai aksi demo di Kantor Bupati pada Jumat (9/6/2023). Jangan-jangan, pemberitaan mengenai massa Singkuang I sengaja tidak dinaikkan, beritanya diredam.
Ah, praduga saya bisa saja salah. Bisa juga benar.
Di dalam catatan tersebut Akhiruddin juga menambahkan, bahwa PT. RPR sudah bersedia memberikan 200 hektare di lahan HGU mereka, sisanya berada di luar HGU sehingga total 600 hektare. Itu pun tetap ditolak. “Karena itu patut diduga BU dan kelompoknya ada misi tertentu dengan mengatasnamakan anggota Koperasi HSB.”
Benar, BU punya misi bahwa 50 % dari dalam areal HGU sesuai dengan Notulen Rapat dengan Asisten II dr. Syarifuddin Nasution di ruangannya pada Desember 2022 lalu dengan Pengurus KP. HSB dan PT. RPR bahwa dari 748 Ha, biarlah 50 % saja, jadi 374 Ha. Kemudian, kami mengalah lagi menjadi 300 Ha saja dari dalam HGU, sisanya di luar HGU di wilayah Muara Batang Gadis. Misi bagi kami menjadi nilai tawar yang tidak muluk-muluk di depan PT. RPR. Ya, misi kami 300 Ha di dalam HGU, sisanya di luar HGU di wilayah Muara Batang Gadis.
Jika tak paham mengenai substansi dan regulasi yang telah kami lalui, bahwa tidak hanya berawal dari bulan puasa kami berjuang, tetapi kami memulai lagi sejak 2019 hingga hari ini. Bukankah IUP, HGU, dan prosedur administratif lainnya itu merupakan produk pemerintah? Lalu mengapa seolah kami memaksakan diri agar 300 Ha? Tuntutan kami taklah berlebihan. Toh, nantinya kami juga yang mencicilnya dengan pinjaman ke bank dengan agunan lahan plasma.
Oleh sebab itu, kita juga berharap Pemerintah membuka mata, telinga dan hati. Bukan jadi agen lahan atau mediator saja, Pemerintah mestinya mempertemukan perwakilan masyarakat dengan perusahaan. Dalam istilah saya "Bermesraan" lagilah, setelah berbulan-bulan tidak saling "menyapa". Bukankah tuntutan kebun plasma itu juga bagian dari amanat Undang-Undang Republik yang kita cintai ini?
Namun, menurut Akhiruddin Matondang di Beritahuta.com bahwa "sejatinya bagi warga pemilik plasma, mau di luar atau di dalam HGU tak begitu penting amat. Dia hanya perlu memastikan lahan yang ditanam memenuhi syarat supaya hasil panen sesuai harapan. Selain itu, memastikan dapat sertifikat supaya menjadi jaminan baginya sebagai pemilik lahan plasma."
Inilah yang saya maksud, bahwa Saudara Akhiruddin tak memahami konteks persoalan plasma di Singkuang I. Bahwa anggota KP. HSB Singkuang I ingin bermitra dengan PT. RPR dengan pola kerjasama bahwa setiap pengelolaan kebun dan pemupukan nantinya disepakati dalam sebuah MoU yang saling menguntungkan. Bukan sertifikat plasma. Kalaulah pihak perusahaan nantinya mau memberi pengurusan pengelolaan kebun ke KP. HSB Singkuang I, kita bisa saja melakukan manajemen dan pengelolaan dengan melibatkan masyarakat yang dilatih secara profesional yang seperti dilakukan sejumlah pengusaha perkebunan.
Emang warga mau garap lahan plasma itu?
Sangat mau, kami bersedia mengelola bila diserahkan secara mandiri kebun plasma tersebut ke masyarakat yang tergabung dalam KP. HSB Singkuang I.
Lalu, Akhiruddin menulis "Oke, kita anggap perusahaan memberi 300 hektare–bukan 200 hektare– dalam HGU sesuai tuntutan warga."
Jika perusahaan merelakan 300 Ha di dalam HGU atau (lahan eks Sago yang sudah tertanam itu 300 Ha lebih). Lahan ini dimenangkan oleh PT. RPR dari Sago. Jika ini diberikan, maka dalam hitungan yang rasional, lebih mudah mencari sisa lahan di luar HGU, karena 102,15 Ha sudah diganti rugi PT. RPR di wilayah Singkuang II.
Begitu lho, Saudara Akhiruddin. Jangan pula nanti Saudara anggap ini irrasional, ini sangat rasional. Untuk mencari sisa katakanlah 200-an Ha lagi ditengarai masih tersedia APL di wilayah Singkuang I, Muara Batang Gadis.
Lantas, Akhiruddin berrtanya, "sebenarnya Koperasi HSB mau “membunuh” PT RPR atau hendak mendapatkan plasma. Saya yakin masyarakat Singkuang 1 tahu jawabannya, namun mereka tak berani bersuara lantaran resikonya terlalu besar."
Koperasi HSB itu tak mau " membunuh" PT. RPR, kami hanya ingin mendapatkan 300 Ha, agar pencarian sisa lahan di luar lebih efektif dan cepat, karena yang dielu-elukan Pemkab Madina pada awal-awal negosiasi ialah "lahan di luar HGU, diprioritaskan di wilayah Muara Batang Gadis, kalau tak dapat di wilayah kecamatan lain di Mandailing Natal. Ini yang tidak rasional dan efektif.
Makanya, kami turun ke jalan, dan langkah ini cukup ampuh, bisa melahirkan 200 Ha yang dinyatakan oleh Pemkab Madina, dan ini belum final. Belum ada negosiasi lanjutan dengan perusahaan.
Lantas, kami turun ke Panyabungan, yakni Kantor DPRD dan Bupati yang kami jamin tidak akan ada anarkis. Dan 213 Kepala Keluarga saat aksi tersebut mereka buktikan dengan nyata dan suara-suara dari ibu-ibu dalam Surat Cinta untuk Bupati menjadi bukti bahwa mereka bersuara dengan lantang dan menyindir halus.
Wahai pemangku kepentingan, Pemkab Mandailing Natal. Bukalah hati owner PT. RPR, bujuk lagi dan jawablah Surat Rekomendasi dari DPRD Mandailing Natal dengan memberikan sanksi administratif atau sanksi yang kongkrit bagi perusahaan perkebunan PT. RPR.
Tetapi, saya meyakini dan telah pula mendengar dari Tim Terpadu Penyelesaian konflik antara KP. HSB dan PT. RPR, bahwa Pemkab sudah menyurati Dirjenbun terkait sanksi yang tepat, namun belum dijawab Dirjenbun, Pemkab Mandailing Natal "bingung" bagaimana menerapkankan sanksi bagi PT. RPR. Ini pengakuan dari Tim Terpadu pada Senin 12 Juni 2023 lalu di depan RDP Lintas Komisi di Ruang Paripurna DPRD Mandailing Natal.
Saya jadi ingat pepatah Afrika: Kolam kecil dipenuhi logam emas, banyak manusia tenggelam di dalamnya.***
Maimun Nasution, menulis di Kompas dan Koran Tempo. Jadi peserta 15 penulis muda mewakili Indonesia dalam Literature Ideas and Festival 2017 di Jakarta yang dihadiri negara-negara Amerika Latin, seperti Argentina, Meksiko, Chili, Brazil, dan lainnya. Kini tinggal di Muara Batang Gadis, Mandailing Natal.
Editor :Maimun Nasution
Source : CATATAN PENULIS